kebun

Jangan Tanam Yakon di Dataran Rendah

December 18, 2025 · 4 min read
Jangan Tanam Yakon di Dataran Rendah

Cerita tentang kegagalan tidak kalah berdampak dengan cerita tentang keberhasilan. Saya yakin itu. Selama ini, kebanyakan tulisan saya di blog ini berisi tentang eksperimen berkebun yang berhasil. Namun kali ini, saya rasa ada baiknya juga berbagi cerita tentang hal yang tidak sesuai dengan ekspektasi karena dari situlah justru banyak pelajaran yang bisa diambil.

Beberapa bulan lalu, saya tidak sengaja melihat video tentang panen umbi di For You Page (FYP) TikTok saya. Namanya Yakon, sebuah tanaman yang umbinya digambarkan renyah layaknya bengkuang namun dengan rasa manis seperti apel. Yang lebih menarik, tanaman ini diklaim sebagai “obat diabetes alami” karena kandungan gulanya yang tidak bisa dicerna tubuh.

Penasaran, saya mencari di marketplace dan menemukan penjual yang menjual umbinya. Harganya sekitar Rp50.000 per kilogram, cukup mahal untuk ukuran umbi-umbian. Saya coba beli, dan ternyata rasanya memang enak: renyah dan manis, persis seperti yang digambarkan di video. Dari situlah muncul keinginan untuk menanamnya sendiri di kebun. Tanpa membuang waktu, saya langsung memesan beberapa bibit di marketplace.


Mengenal Yakon

Sebelum membahas lebih jauh mengenai pengalaman saya menanam tanaman ini, ada baiknya kita berkenalan dulu. Yakon (Smallanthus sonchifolius) adalah tanaman yang termasuk dalam keluarga Asteraceae, satu familia dengan bunga matahari. Tanaman ini berasal dari pegunungan Andes di Amerika Selatan. Di Indonesia, Yakon banyak ditanam di daerah dataran tinggi seperti Dieng, Lembang, dan Batu.

Di Indonesia, Yakon lebih dikenal dengan nama “Daun Insulin” atau “Tanaman Insulin”. Padahal, bagian yang paling bernilai sebenarnya adalah umbi akarnya. Umbi ini kaya akan FOS (Fructooligosaccharides), jenis gula yang tidak bisa dicerna tubuh manusia, sehingga memberikan rasa manis tanpa memicu lonjakan gula darah. Teksturnya renyah seperti bengkuang, dengan rasa manis segar perpaduan antara pir dan apel.

Umbi Yakon segar
Umbi Yakon yang siap dikonsumsi (sumber: Envato Elements)

Proses Penanaman

Bibit yang saya terima berupa bonggol-bonggol kecil (rimpang). Langsung saya tanam ke planter bag ukuran 50 liter dengan media tanam campuran tanah gembur, sekam bakar, dan sedikit kotoran kambing yang sudah difermentasi.

Bibit Yakon mulai bertunas
Bibit Yakon mulai bertunas di planter bag

Tantangan utama dalam menanam Yakon di daerah saya adalah iklim. Jabodetabek, seperti yang kita ketahui, adalah kawasan dataran rendah tropis dengan suhu yang cukup panas dan kelembaban tinggi. Di beberapa waktu, tanaman-tanaman saya lainnya bisa layu di tengah terik siang.

Namun, di luar dugaan, pertumbuhan vegetatifnya sangat pesat. Dalam waktu satu minggu, tunas sudah mulai bermunculan. Satu bulan kemudian, daun sudah rimbun menutupi permukaan polybag. Di bulan ketiga, batangnya sudah kokoh, daunnya lebar dan berbulu halus seperti beludru, tingginya sudah sepinggang orang dewasa.

Daun Yakon tumbuh subur
Daun Yakon tumbuh sangat subur di dataran rendah

Setiap pagi saya menyiramnya sambil membayangkan umbi-umbi yang sedang membesar di dalam tanah. Naifnya saya, sempat berpikiran bahwa jika daun dan batangnya subur seperti ini, pasti akar di bawah juga sedang tumbuh menggemuk.

Untuk perawatan, saya tidak melakukan perlakuan khusus. Yakon di Jabodetabek ternyata cukup tahan banting. Panas terik yang beberapa kali mencapai 34°C tidak membuatnya layu. Hama kutu daun yang biasanya menyerang tanaman cabai saya pun tidak terlihat di daun Yakon yang berbulu lebat ini.


Pemanenan

Delapan bulan setelah penanaman, tanaman sudah menunjukkan tanda-tanda siap panen. Daun-daun tua mulai menguning dan mengering. Bunga-bunga kecil berwarna kuning, mirip bunga matahari dalam ukuran mini, sudah bermunculan di pucuk tanaman.

Dengan penuh harap, saya mulai membongkar media tanam. Tanah di pinggiran polybag saya gemburkan terlebih dahulu. Kemudian, saya cabut rumpun utama tanaman.

Yang saya temukan hanyalah segumpal akar serabut yang ruwet dan rimpang bibit (propagul) yang bertambah banyak. Umbi konsumsi yang saya tunggu-tunggu? Tidak ada satupun. Bahkan yang berukuran kecil pun tidak nampak. Subur di atas, kosong di bawah.


Catatan

Setelah mencari informasi lebih lanjut, saya akhirnya menemukan penyebab kegagalan ini, faktor yang sebetulnya tidak mengagetkan: suhu.

Yakon adalah tanaman pegunungan. Walaupun toleran terhadap panas untuk pertumbuhan daun, pembentukan umbi sangat bergantung pada suhu yang rendah dalam jangka waktu tertentu. Mekanisme ini mirip dengan konsep chill hour pada tanaman subtropis seperti apel, ceri, dan lainnya.

Di Jabodetabek, suhu malam hari masih berkisar 24-27°C, yang artinya metabolisme tanaman tidak pernah “istirahat”. Energi hasil fotosintesis habis digunakan untuk respirasi di malam yang panas, sehingga tidak ada sisa energi yang bisa disimpan menjadi umbi.

Berikut beberapa pelajaran yang bisa diambil dari pengalaman ini:

  1. Riset agroklimat sebelum menanam. Apa yang tumbuh subur di Lembang atau Batu, belum tentu bisa berbuah di Jabodetabek.
  2. Yakon di dataran rendah lebih cocok sebagai tanaman hias. Daunnya yang rimbun dan eksotis tetap bisa dinikmati, atau bisa juga diambil untuk dijadikan teh herbal.
  3. Sukses vegetatif tidak menjamin sukses generatif. Tanaman yang subur daunnya belum tentu produktif dalam menghasilkan buah atau umbi.

Sekarang, sisa-sisa rimpang Yakon itu saya biarkan tumbuh kembali di pekarangan. Walaupun umbinya tidak bisa saya nikmati, setidaknya daunnya tetap bisa dimanfaatkan untuk membuat teh, sembari menabung untuk membeli villa di dataran tinggi yang nantinya akan jadi tempat saya memanen umbi Yakon :).