coretan

Hobi Baru Saya: Self-Hosting

December 10, 2025 · 5 min read
Hobi Baru Saya: Self-Hosting

Dalam ikhtiar menjadi pribadi yang dewasa, secara berkala saya menganalisa pengeluaran pribadi dan keluarga. Ternyata, jumlah uang yang saya dan istri keluarkan untuk layanan digital tiap tahunnya cukup signifikan. Ada dana yang tidah sedikit yang saya habiskan untuk berlangganan Netflix, YouTube Premium, VPS, iCloud, serta upgrade akun Google agar mendapatkan storage Google Drive dan Photos yang lebih lega.

Di saat yang sama, saya juga memiliki PC jadul yang sebetulnya punya spesifikasi yang cukup bagus di zamannya, tahun 2014. Dengan prosesor yang masih mumpuni dan ruang hard disk yang lumayan besar, saya putuskan untuk mengusahakannya menjadi sebuah home server. Saya beli sebuah SSD dengan kapasitas 480GB, instal OS Linux ke dalamnya, tidak lama PC saya sudah menjadi server rumahan yang bisa saya manfaatkan untuk mengganti sebagian besar layanan-layanan digital saya.

PC rumahan yang sangat mungkin dijadikan mini server
PC rumahan yang sangat mungkin dijadikan mini server (sumber: Pexels)

Manfaat Self Hosting

Salah satu hal pertama yang saya rasakan setelah mulai self hosting adalah meningkatnya rasa aman terhadap privasi. Ketika data berada di perangkat saya sendiri, saya tahu persis di mana file saya disimpan dan siapa yang dapat mengaksesnya. Tidak ada lagi kekhawatiran bahwa file pribadi saya dianalisis untuk iklan atau disimpan di server yang tidak saya ketahui lokasinya.

Selain privasi, saya menikmati kebebasan penuh dalam menyesuaikan layanan sesuai kebutuhan saya. Saya bisa menentukan aplikasi apa yang ingin dijalankan, menambah fitur kapan saja, dan mengatur semuanya tanpa perlu memikirkan harga paket langganan. Banyak layanan yang sebelumnya saya bayarkan setiap bulan kini bisa saya jalankan sendiri tanpa biaya tambahan, sehingga dalam jangka panjang terasa lebih hemat.

Kecepatan akses lokal juga menjadi salah satu keuntungan yang sangat terasa. Menonton film, mengakses foto, atau memindahkan file besar terasa lebih cepat karena semuanya berjalan melalui jaringan rumah. Bahkan ketika internet bermasalah, layanan lokal tetap bisa diakses dengan lancar.

Kabel LAN
Dengan home server yang tersambung dengan LAN, mengakses file di dalam jaringan rumah dari banyak gadget menjadi sangat mudah (sumber: Pexels)

Pengalaman belajar adalah bagian yang paling berkesan. Self hosting memperkenalkan saya pada banyak hal baru seperti Docker, backup, keamanan jaringan, serta cara kerja berbagai aplikasi modern. Setiap masalah kecil yang bisa saya selesaikan sendiri memberikan kepuasan tersendiri.

Untuk biaya listrik sendiri sebetulnya tidak terlalu mahal, ketika diukur, saya mendapati PC saya memakan daya rata-rata 67W. Maka 67 x 24 jam x 365 hari / 1000 x 1444 Rupiah = Rp847.923 . Ini dengan asumsi PC server saya bekerja non-stop tanpa ada istirahat. Ini sebenarnya relatif murah mengingat biaya VPS saya untuk keperluan proyek sampingan saja memerlukan biaya Rp3.000.000 per tahun.

Penghematan dari berlangganan layanan digital bisa dipakai untuk keperluan lainnya
Penghematan dari berlangganan layanan digital bisa dipakai untuk keperluan lainnya (sumber: Pexels)

Terakhir, ada rasa bangga yang muncul setiap kali saya melihat server rumahan saya berjalan stabil. Rasanya menyenangkan mengetahui bahwa sistem itu saya bangun sendiri, saya kelola sendiri, dan benar benar saya pahami luar-dalam.

Layanan Self Hosting yang Saya Pakai

Dengan spesifikasi komputer saya yang bisa dibilang judul, saya tetap merasa cukup nyaman dalam melakukan instalasi dan menggunakan layanan-layanan open source kekinian.

Komponen Spesifikasi
Prosesor Intel Core i7-4770
Memori 32GB
Storage 3TB HDD + 480GB SSD
Kartu Grafis NVIDIA GeForce GTX 750 Ti 2GB
OS Ubuntu 25.10

Pada koneksi LAN, saya memakai jaringan standar 100mbps dari router bawaan penyedia internet saya. Untuk jaringan publik, agar bisa diakses dari mana saja saya menggabungkan internet rumahan 75mbps dengan Cloudflare Tunnel, yang memungkinkan saya bisa mengakses layanan-layanan berikut dari mana saja:

Jellyfin


Jellyfin homepage screenshot
Jellyfin untuk pengganti streaming service (sumber: Reddit)

Jellyfin adalah server media yang saya gunakan untuk mengatur koleksi film dan serial yang saya simpan di dalam hard disk. Salah satu hal yang paling saya sukai dari Jellyfin adalah sifatnya yang sepenuhnya open source. Tidak ada biaya langganan dan tidak ada fitur terkunci. Saya bisa menonton video dengan kualitas tinggi di jaringan rumah tanpa buffering. Nilai tambah yang sangat saya suka adalah Jellyfin dengan otomatis akan menambahkan informasi seperti cover, sinopsis, cast, dan daftar episode pada media-media yang saya simpan.

Jellyfin @Github

Immich


Immich adalah alternatif layanan penyimpanan foto dan video yang paling saya sukai
Immich sebagai alternatif layanan penyimpanan foto dan video (sumber: Immich App)

Immich saya gunakan sebagai pengganti Google Photos dan iCloud. Awal saya mencoba menggunakan Immich, harapan saya tidak terlalu besar. Namun Immich ternyata sangat memuaskan. Tidak hanya menyimpan foto, Immich juga mempunyai fitur machine learning untuk mengenali wajah, membuat koleksi memori seperti Google Photos, serta mempunyai aplikasi mobile yang membuat backup foto dan video dari gadget menjadi sangat mudah.

Immich @Github

Owncloud


Owncloud UI screenshot
Langganan Google Drive saya sudah bisa digantikan oleh Owncloud

OwnCloud saya gunakan sebagai pengganti layanan penyimpanan seperti Google Drive. Saya bisa menyinkronkan dokumen, membuat folder untuk dibagikan, dan mengakses file dari berbagai perangkat dengan mudah. OwnCloud memberikan pengalaman seperti Google Drive namun dengan kapasitas yang bisa menyesuaikan dengan hard disk yang ada pada server tanpa harus memikirkan biaya langganan. Sangat membantu untuk pekerjaan dan penyimpanan jangka panjang.

Website Owncloud

Kekurangan dari Self Hosting

Walaupun memberikan banyak manfaat, self hosting bukan tanpa kekurangan. Tantangan terbesar bagi saya adalah kebutuhan memahami aspek teknis. Di awal, saya cukup sering menghadapi error atau konfigurasi yang tidak berjalan sesuai harapan. Ternyata saya sangat dimanja ketika sebelumnya memakai server yang sudah di-manage oleh penyedia. Dibutuhkan waktu untuk belajar dan membiasakan diri, terutama dalam hal keamanan dan backup.

Self hosting berarti perawatan hardware dan kelistrikan harus diurus sendiri. Secara rutin saya harus memastikan PC saya bebas dari debu, ventilasi yang cukup, aman dari jangkauan anak dan hewan peliharaan. Selain itu, berbeda dengan data center, listrik di rumah saya adalah sama dengan listrik rumah lain pada umumnya. Hidup-mati server saya ada di tangan PLN.

Tanggung jawab keamanan juga berada sepenuhnya di tangan saya. Jika saya salah mengatur izin akses atau lupa memperbarui sistem, risiko keamanan bisa meningkat. Karena itu, self hosting menuntut konsistensi dalam menjaga server tetap aman dan stabil. Konfigurasi firewall harus dipastikan optimal.

Server pribadi punya kebebasan untuk konfigurasi keamanan
Keamanan digital pada server pribadi ada di tangan kita sendiri (sumber: Pexels)

Meskipun begitu, bagi saya kekurangan ini masih bisa diterima. Pengalaman dan manfaat yang saya dapatkan dari self hosting terasa jauh lebih besar daripada tantangan yang muncul.

Pada akhirnya saya hanya ingin menjadi manusia merdeka yang berdaulat atas datanya sendiri.