Beberapa bulan yang lalu, di supermarket langganan, perhatian saya tertuju pada tumpukan melon kecil. Ukurannya hanya sedikit lebih besar dari genggaman tangan, tapi yang membuat saya terkejut adalah harganya: 35.000 Rupiah per butir. Alih-alih merasa mahal, saya justru semakin penasaran. Ada keyakinan dalam diri saya bahwa harga yang tinggi biasanya sepadan dengan kualitas. Lagipula, bisnis yang menjual produk berkualitas rendah dengan harga tinggi pasti tak akan bertahan lama, bukan?
Ternyata, pemikiran saya tepat. Ketika saya mencicipi melon tersebut, manisnya sungguh luar biasa, mungkin melon paling manis yang pernah saya makan. Sayangnya, saya tak ingat nama varietasnya, apalagi struk belanjaan sudah terbuang.
Kebiasaan saya, sampah dapur seperti sisa-sisa sayuran dan buah-buahan selalu saya buang di pot tanaman di teras. Sampah ini nantinya akan terurai dan menjadi pupuk organik. Namun, ada hal yang mengejutkan – beberapa kecambah muncul dari tumpukan sampah tersebut.
Saya segera menyadari bahwa kecambah-kecambah ini berasal dari biji melon mahal yang tak sengaja saya buang. Rasa sayang kalau harus mencabut semuanya, maka saya biarkan satu kecambah yang tampaknya tumbuh paling baik. Sisanya saya cabut.
Minggu demi minggu berlalu. Awalnya hanya iseng, namun ternyata tanaman melon tersebut tumbuh subur, meski harus berbagi ruang dalam pot dengan tanaman lain yang sistem akarnya sudah matang. Tidak lama kemudian, muncul bunga-bunga kecil. Saya bisa melihat bunga jantan dan betina mulai bermekaran.

Tak lama setelah bunga muncul, beberapa calon buah mulai terlihat. Walaupun banyak bunga yang gugur, ada satu buah yang berhasil tumbuh. Saya sangat hati-hati dalam merawatnya, mengingat tanaman ini ditanam di pot yang rentan kering. Saya sempat harus pergi dinas luar kota, dan setiap pagi, saya selalu mengingatkan istri untuk menyiram tanaman melon ini.

Proses pembesaran buah melon ternyata cukup cepat. Dalam waktu hanya satu minggu, pertumbuhannya sangat signifikan. Setelah beberapa minggu, buahnya mencapai ukuran maksimal, dan kulitnya mulai ditutupi pola jaring-jaring kasar. Pada titik ini, ingatan saya kembali ke melon yang dulu saya beli – kulitnya juga memiliki pola serupa. Hanya butuh beberapa pencarian singkat di Google untuk menemukan jawabannya: ternyata melon yang saya beli dan sekarang tumbuh di halaman rumah adalah varietas Sweet Net, jenis melon premium yang sedang digandrungi para petani.
Sayangnya, informasi tentang melon Sweet Net sangat terbatas. Yang saya tahu hanyalah bahwa varietas ini masih tergolong dalam spesies Cucumis melo dan populer di kalangan petani premium. Saya penasaran, apakah nama “Sweet Net” hanya digunakan oleh petani di Indonesia sebagai merek dagang? Karena sulit menemukan informasi tentang varietas ini dalam bahasa lain.

Tak lama lagi, buahnya akan matang sepenuhnya, siap untuk dipanen. Saya tidak sabar untuk melihat apakah tanaman yang tumbuh secara tidak sengaja ini akan menghasilkan buah yang semanis melon yang saya beli dulu. Semoga hasilnya memuaskan!