Seperti kebanyakan pengantin baru lainnya, saya pun juga mengalami adanya culture shock sesaat setelah menikah. Ada yang kaget bahwa pasangannya ternyata tidur mendengkur, ada yang mungkin baru tahu kalau pasangannya terlalu sering mandi. Saya sendiri, lumayan takjub ketika melihat peralatan mandi istri saya cukup terbilang mewah. Istri saya memakai sabun cair dengan wewangian yang saya tidak pernah cium sebelumnya. Sikat gigi yang dipakai juga berbeda dengan sikat gigi saya, bulu sikatnya lebih halus.
Peralatan mandi istri yang paling menarik perhatian saya adalah spon mandi yang tidak biasa. Bentuknya panjang, berserat, dan berongga. Saya yang sehari-hari menggunakan shower puff plastik tiga ribuan tentunya tidak bisa relate. Ketika saya coba gunakan, ternyata spon istri ini cukup nyaman juga. Seratnya kuat, namun lembut(?) sehingga tidak sakit ketika digosokkan walaupun dengan agak kuat.
Setelah saya coba cari-cari info, ternyata spon yang dipakai oleh istri saya adalah spon organik, berasal dari sebuah tanaman dengan nama ilmiah Luffa aegyptica. Luffa adalah sejenis tumbuhan yang termasuk dalam keluarga Cucurbitaceae dan banyak ditemukan di daerah tropis. Karena merupakan anggota keluarga Cucurbitaceae, berarti Luffa ini masih ada hubungan keluarga dengan Mentimun, Semangka, dan Labu-labuan lainnya.

Ketika saya mencari informasi di Wikipedia, ternyata nama lokal untuk Luffa aegyptica adalah Blustru (nama yang belum pernah saya dengar diucapkan oleh orang Indonesia), dan keluarga terdekatnya adalah Oyong, yang biasa digunakan untuk sayur. Karena di sekitaran rumah saya banyak yang menanam Oyong, maka saya berkesimpulan saudara dekatnya ini juga kemungkinan besar akan tumbuh dengan baik di sini. Mari kita coba tanam.
BENIH
Kebetulan sekali saya punya seorang teman yang merantau di Thailand. Beberapa minggu sebelum beliau pulang, saya minta untuk dibelikan beberapa benih sayur dari Thailand untuk saya coba tanam di sekitar rumah, salah satunya adalah benih Luffa.
Ternyata harga benih sayuran di Thailand cukup murah, hingga akhirnya saya kalap titip benih terlalu banyak. Belasan bungkus benih sayuran, saya cuma perlu membayar sekitar seratus ribu rupiah.
CATATAN
- Salah satu penyesalan saya adalah menggunakan Polybag ukuran 30 untuk menjadi tempat tumbuhnya Luffa. Luffa adalah tanaman yang tingkat pertumbuhannya di atas rata-rata. Maka dari itu, seharusnya tempat tumbuh yang tepat adalah tanah. Jika tidak ada tanah, maka pilihan kedua adalah pot yang besar. Karena dengan pertumbuhan cabang dan daun yang pesat, bisa dipastikan pertumbuhan akar juga sama pesatnya. Jika nanti ada kesempatan untuk menanam Luffa kembali, saya pastikan akan menggunakan ruang tanam yang lebih besar.

- Luffa lumayan rentan dengan hama. Luffa yang saya tanam tidak ada satupun daun yang tidak bolong. Namun anehnya pertumbuhan tanaman sepertinya tidak terganggu secara signifikan. Bunga-bunga tetap bermunculan, dan sebagian besar dapat tumbuh menjadi bakal buah (walaupun hampir semua saya rontokkan karena tidak mungkin buah sebanyak itu dipelihara dengan ruang tanam yang sangat terbatas)

- Masa pematangan Luffa terbilang sangat lama. Ketika tulisan ini dibuat, umur tanaman Luffa saya sudah lebih dari seratus hari. Namun buah yang sudah besar-besar belum juga matang, yang seharusnya ditandai dengan kulit buah yang berubah menjadi coklat dan mengering. Bahkan, saking lamanya pematangan, bunga dan bakal buah yang baru sudah muncul sebelum buah pada pembuahan sebelumnya matang.

Akhir kata, proses dalam bercocok tanam ini bisa dibilang cukup menarik bagi saya. Sesungguhnya saya sangat tidak sabar untuk mencoba apa yang sudah saya tanam, belajar dari prosesnya, dan saya ulangi kembali dengan perbaikan-perbaikan. Siapa tahu nanti membuahkan hasil yang banyak dan baik, untuk dibagikan ke teman dan keluarga, kan?
2 comments